Gerakan 30 September 1965 dan Munculnya Orde Baru di Indonesia

Kemunculan Orde Baru tidak dapat dipisahkan dari peristiwa 30 September 1965 dan krisis politik yang mengikutinya. Melalui peristiwa dramatis tersebut, Soeharto secara perlahan mengumpulkan dukungan militer dan politik yang membuka jalan bagi pergantian kekuasaan pada tahun 1968.

Proses transisi dari Sukarno ke Soeharto bukanlah hal yang instan, melainkan terjadi bertahap sejak 1 Oktober 1965 hingga 1968. Ini lebih dari sekadar pergantian pemimpin, tetapi juga mencerminkan perubahan mendalam dalam sistem politik dan ideologi yang menciptakan rezim yang dikenal dengan sebutan Orde Baru.

Pandangan resmi dari pemerintah Orde Baru, yang ditulis oleh sejarawan militer Nugroho Notosusanto, menggambarkan peristiwa G30S sebagai kudeta yang dirancang oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun, sejarawan independen seperti John Roosa dan Victor M. Fic menjelaskan bahwa peristiwa tersebut lebih kompleks, melibatkan dinamika politik dan militer yang akhirnya mengubah kekuasaan dari Sukarno menjadi Soeharto.

Peristiwa G30S dan Dampaknya Terhadap Politik Nasional

Pada 1 Oktober 1965, sekitar pukul 11.00 siang, Radio Republik Indonesia (RRI) mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi sebagai respons atas Gerakan 30 September yang terjadi pada malam sebelumnya. G30S, yang dikenal kemudian, melibatkan sejumlah perwira militer yang menculik dan membunuh enam jenderal serta satu perwira muda.

Tujuan utama dari gerakan ini adalah untuk membasmi Dewan Jenderal, yang saat itu dianggap berpotensi melakukan kudeta terhadap presiden. Meskipun rencana Dewan Revolusi tidak pernah terwujud, G30S berhasil dipatahkan dengan cepat oleh Soeharto, yang saat itu menjabat sebagai Panglima Kostrad.

Setelah pengumuman dari RRI, Soeharto mengambil alih komando Angkatan Darat dan mengerahkan pasukan untuk mengambil alih RRI serta Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Dalam waktu singkat, Soeharto berhasil menumpas kekuatan G30S dan mengalihkan kendali penjagaan negara kepada dirinya.

Kemunculan Supersemar dan Momen Penting dalam Sejarah

Setelah penumpasan G30S, Soeharto melanjutkan operasi penangkapan di seluruh Pulau Jawa dan Sumatera terhadap anggota PKI dan simpatisan mereka. Pada 11 Maret 1966, Sukarno menandatangani Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), yang memberikan otoritas kepada Soeharto untuk mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu untuk memulihkan keamanan.

Berkat Supersemar, Soeharto dengan cepat membubarkan PKI dan menangkap para menteri yang dianggap loyal kepada Sukarno. Momen ini menandai hilangnya kontrol Sukarno atas kekuasaan yang sebelumnya dipegangnya selama dua dekade.

Dokumen Supersemar tidak lepas dari kontroversi, karena naskah aslinya tidak pernah ditemukan. Hanya ada dua versi yang dicatat di arsip nasional, baik dari Angkatan Darat maupun dari Sekretariat Negara, yang memiliki perbedaan mencolok.

Awal Mula Istilah Orde Baru dan Struktur Rezim

Dengan cepat, rezim baru di bawah Soeharto terbentuk, dibangun di atas tiga pilar utama: stabilitas politik, pembangunan ekonomi, dan pemberantasan komunisme. Soeharto juga mulai menjanjikan pemilihan umum untuk mendukung legitimasi politiknya.

Pemilihan umum pertama di era Orde Baru baru dilakukan pada tahun 1971, diikuti dengan penyederhanaan sistem kepartaian pada 1973. Dari penyederhanaan ini, lahirlah dua partai utama: PDI dan PPP, serta Golongan Karya sebagai organisasi politik non-partai.

Istilah “Orde Baru” pertama kali dilontarkan oleh Jenderal A.H. Nasution pada awal Oktober 1965, dan dipopulerkan oleh kalangan militer dan intelektual. Orde Baru berusaha menjauhkan diri dari era Soekarno, yang dikenal sebagai Orde Lama, dengan menganggapnya sebagai fase dalam sejarah yang penuh kesalahan.

Keruntuhan Orde Baru dan Warisan Sejarah

Meskipun Soeharto berhasil menggerakkan ekonomi Indonesia, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme justru meluas selama pemerintahannya. Pada tahun 1998, era Orde Baru mulai goyah akibat krisis ekonomi yang memburuk, menyebabkan nilai rupiah anjlok dan memicu gelombang protes di kalangan mahasiswa.

Kemunculan demonstrasi besar-besaran membuat Soeharto pada akhirnya mengundurkan diri setelah memerintah selama 32 tahun. Setelah pengunduran dirinya, berbagai pertanyaan hukum muncul, terutama terkait dengan dugaan korupsi yang melibatkan Soeharto dan keluarganya.

Setelah itu, pada tahun 2000, kejaksaan Agung menetapkan Soeharto sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi, meskipun upaya penuntutan di pengadilan selalu menemui kendala karena kondisi kesehatan Soeharto yang menurun.

Tidak dapat dipungkiri bahwa masa transisi pasca-Orde Baru membawa banyak perubahan signifikan, termasuk pelaksanaan pemilihan umum bebas pertama pada tahun 1999. Namun, meskipun rezim telah berganti, narasi dan warisan politik Orde Baru mengenai G30S masih melekat kuat di ingatan kolektif banyak orang.

Related posts