Dalam dunia kejahatan, sering kali kita terjebak dalam narasi yang tak terbayangkan. Di Korea Selatan, sebuah kasus lama yang penuh misteri selama 33 tahun akhirnya terkuak, mengungkapkan tindakan keji yang merenggut nyawa sepuluh wanita. Keberanian pihak kepolisian dan kemajuan teknologi forensik memainkan peran penting dalam menyelesaikan teka-teki ini.
Pada tahun 1986 di Hwaseong, kejahatan ini dimulai dengan pilihan target yang sangat terseleksi. Sepanjang lima tahun berikutnya, sepuluh wanita akhirnya menjadi korban keganasan pelaku yang tak terdeteksi. Penyelidikan pun dimulai, namun jalan yang harus dilalui sangat berliku dan dipenuhi rintangan teknis.
Polisi ketika itu berjuang menghadapi ketidakpastian, mengumpulkan berbagai bukti fisik, termasuk sidik jari dan sampel DNA. Namun, keterbatasan teknologi forensik zaman itu ternyata menggagalkan banyak upaya untuk mengidentifikasi pelaku. Polisi hanya dapat membuat profil kasar dari pelaku, tetapi itu pun tidak cukup untuk membawa mereka kepada penangkapan.
Kejadian Pembunuhan yang Mengguncang Masyarakat
Kasus ini mengguncang masyarakat Hwaseong dengan kekejaman yang tak terbayangkan. Para wanita yang terpilih menjadi target kejahatan mencerminkan kerentanan yang tidak seharusnya ada. Pelaku beroperasi dengan keahlian yang sangat rapi, tepat di bawah radar pihak berwenang, sehingga korban terus jatuh tanpa ada penahanan yang berarti.
Dalam periode yang sama, masyarakat merasa ketakutan dan tidak aman. Keberadaan pelaku yang bebas menyebabkan berbagai spekulasi dan ketakutan yang berkepanjangan. Pihak kepolisian meluncurkan berbagai operasi pencarian, tetapi hasilnya tetap nihil.
Situasi semakin memburuk dengan periode ketidakpastian yang berkepanjangan. Dalam kurun waktu tersebut, terlihat seolah-olah kejahatan ini akan terus berlanjut tanpa akhir. Penelitian dan analisis berulang kali dilakukan, hanya untuk mendapati situasi tetap buntu. Ketidakmampuan untuk menemukan pelaku menciptakan kebingungan dan frustrasi di dalam tubuh kepolisian.
Penemuan Terobosan Teknologi DNA
Setelah lebih dari tiga dekade, terobosan signifikan terjadi pada tahun 2019. Polisi akhirnya bisa mengidentifikasi pelaku berkat teknologi DNA canggih yang telah dikembangkan. Dengan menggunakan sampel-sampel yang telah dikumpulkan sebelumnya, mereka membandingkan data tersebut dengan basis data kriminal modern dan menemukan sosok pelaku: Lee Chun-jae.
Lee adalah narapidana sekaligus pelaku yang telah mendekam di penjara atas kejahatan lain. Penangkapannya pada 1994 terkait kasus pemerkosaan dan pembunuhan saudara iparnya membawa kepada pengakuannya yang mengerikan. Dalam penyelidikan ulang, dia akhirnya mengakui delapan belas kejahatan, termasuk sepuluh kasus pembunuhan di Hwaseong.
Pembeberan ini membawa banyak pertanyaan bagi pihak berwenang. Kenapa pelaku yang sudah terlibat dalam kejahatan lain tidak bisa segera ditangkap? Jawaban atas pertanyaan ini sepertinya terletak pada keterbatasan yang dimiliki oleh teknologi penyelidikan di tengah upaya mereka mengungkap kasus ini.
Kekeliruan dalam Proses Penyelidikan
Fakta yang lebih menyedihkan adalah adanya kesalahan dalam penyelidikan sebelumnya. Polisi gagal mendeteksi golongan darah pelaku yang benar, yang semestinya menjadi informasi kunci dalam identifikasi. Kesalahan ini memperpanjang ketidakpastian dan menyikapi berbagai spekulasi yang ada.
Lebih tragisnya, ketidakakuratan ini menimbulkan dampak pada kehidupan orang lain. Salah tangkap terhadap Yoon Sung-yeo yang terpaksa menjalani hukuman penjara selama 19,5 tahun sebagai orang yang salah. Proses hukum yang cacat ini menunjukan betapa rumitnya jalan menuju keadilan dalam kasus ini.
Lee, sambil mengakui kejahatan yang dilakukannya, menyatakan rasa penyesalan. Ia mengatakan merasa bingung mengapa dia tidak ditangkap lebih awal, menganggap bahwa keterampilan dalam menyembunyikan jejak dan keterbatasan teknologi polisi waktu itu menjadi faktor utama.
Status Hukum dan Konsekuensi bagi Pelaku
Lee Chun-jae saat ini tidak dapat diadili secara hukum untuk semua kejahatan yang dilakukannya di Hwaseong karena undang-undang sudah kadaluarsa. Melihatnya seolah terbebas dari konsekuensi hukum untuk kejahatan paling buruk yang dilakukannya membuat situasi semakin rumit dan mengecewakan.
Hingga hari ini, hukuman resmi Lee yang masih berlaku hanya berasal dari kasus yang terjadi pada 1994. Dengan hanya menghukum satu dari banyak tindakan kebejatan yang dilakukannya, masyarakat merasa kecewa dan marah. Ketidakpuasan ini tentu menimbulkan pertanyaan besar mengenai efektivitas hukum dan perlindungan terhadap masyarakat.
Dengan demikian, kasus Hwaseong menyajikan pelajaran pahit, bukan hanya bagi penegak hukum, tetapi juga bagi masyarakat. Sejarah berulang dengan kesalahan yang sama menunjukkan perlunya peningkatan dalam sistem peradilan untuk memastikan bahwa di masa depan, keadilan akan berdiri lebih kokoh dan mampu melindungi yang tidak bersalah.