PDIP Menentang Usulan Pemberian Gelar Pahlawan kepada Soeharto

Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP memberikan kritik tajam terhadap usulan pemberian gelar pahlawan kepada Presiden kedua RI, Soeharto. Usulan tersebut telah resmi diajukan kepada Menteri Kebudayaan, sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, Fadli Zon di Jakarta.

Ketua DPP PDIP, Ribka Tjiptaning, mengungkapkan keheranannya terhadap usulan ini. Ia mempertanyakan alasan di balik pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto, mempertimbangkan catatan sejarah kelam era kepemimpinannya.

Ribka menegaskan bahwa Soeharto bukanlah sosok yang layak disebut pahlawan. Dengan nada skeptis, ia menyebutkan bahwa banyak rakyat yang menderita akibat kebijakan yang diterapkan di masa pemerintahan Soeharto.

Kritik Terhadap Pemberian Gelar Pahlawan Untuk Soeharto

Ribka Tjiptaning tidak sendirian dalam pandangannya. Dia berharap masyarakat tidak melupakan sejarah kelam yang dilalui bangsa ini, menandaskan bahwa banyak orang yang teraniaya di bawah pemerintahan Soeharto. Masyarakat seharusnya lebih kritis dan tidak mudah terlena dengan usulan yang tampaknya terputus dari fakta sejarah.

Ia meragukan bahwa pemerintah akan mendengar penolakan publik terhadap usulan tersebut. Bagi Ribka, situasi ini mencerminkan kelemahan bangsa yang cenderung melupakan sejarah, yang seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi generasi sekarang dan mendatang.

Guntur Romli, seorang politikus PDIP lainnya, juga menyatakan rasa miris terhadap usulan tersebut. Menurutnya, usulan untuk menghormati Soeharto seolah ingin menukar gelar pahlawan Gus Dur dan Marsinah yang juga masuk dalam daftar usulan.

Argumentasi Menentang Gelar Pahlawan bagi Soeharto

Guntur menggambarkan bahwa Gus Dur dan Marsinah dikenal sebagai figur yang melawan Soeharto dan Orde Baru. Hal ini menimbulkan pertanyaan logis tentang kriteria kepahlawanan yang diusulkan. Dia berargumen bahwa secara akal sehat, tidak mungkin semua tokoh yang terlibat dalam perlawanan bisa disebut pahlawan dengan cara bersamaan.

Sejarah memang mencatat Soeharto sebagai mantan presiden yang digulingkan melalui gerakan Reformasi 1998. Praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) serta pelanggaran HAM berat selama pemerintahannya menjadi sorotan utama bagi penolakan ini.

Guntur menegaskan bahwa meskipun ada banyak argumentasi tentang pelaksanaan pemerintahan, catatan sejarah tidak bisa diabaikan dengan mudah. Ia menuntut agar pemerintah lebih bijak dalam memberi gelar yang seharusnya berdasar pada prestasi dan kontribusi nyata bagi bangsa.

Pentingnya Mempertimbangkan Sejarah Sebelum Memberikan Gelar Pahlawan

Pemberian gelar pahlawan seharusnya dilakukan dengan sangat hati-hati dan mempertimbangkan rekam jejak seseorang. Melalui kajian yang menyeluruh, lembaga terkait harus mampu memisahkan antara kepahlawanan yang tulus dan motif politik semata. Jika tidak, kepercayaan publik terhadap lembaga pemberi gelar akan semakin menurun.

Fadli Zon, sebagai ketua Dewan Gelar, juga berencana untuk mengadakan sidang guna membahas usulan tersebut. Melalui proses panjang yang melibatkan kajian dan diskusi, mereka berharap bisa menghasilkan keputusan yang tepat dan tidak kontroversial.

Namun, masih ada kehawatiran mengenai seberapa banyak suara publik yang akan diakomodir dalam keputusan tersebut. Jika tidak, hal ini hanya akan menambah daftar ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah.

Related posts