Gubernur Bali I Wayan Koster baru-baru ini mengumumkan langkah signifikan dalam upaya melindungi lahan produktif di Pulau Dewata. Dalam konferensi pers yang berlangsung setelah rapat dengan Menteri Lingkungan Hidup, ia menekankan pentingnya menjaga keberlanjutan lingkungan untuk mencegah terjadinya banjir besar yang mengancam masyarakat.
Tindakan ini diambil setelah serangkaian bencana banjir yang melanda Bali, dan Koster menunjukkan komitmennya untuk melindungi ekosistem lokal. Menurutnya, larangan alih fungsi lahan produktif akan mulai diterapkan pada tahun ini dan akan diperkuat dengan peraturan daerah yang didesain khusus untuk mencegah pembangunan komersial di lahan seperti sawah.
Upaya Menanggulangi Banjir dan Perlindungan Lingkungan
Koster menegaskan bahwa mulai tahun 2025, tidak ada lagi izin yang diberikan untuk mengubah lahan produktif menjadi fasilitas komersial seperti hotel dan restoran. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat yang sudah terkena dampak banjir.
Ia juga menyampaikan bahwa pihaknya telah memberikan instruksi kepada semua bupati dan wali kota di Bali untuk mematuhi keputusan ini. Setelah penanganan banjir rampung, pemerintah daerah akan berkumpul untuk memastikan bahwa tidak akan ada izin baru yang dikeluarkan untuk penggunaan lahan produktif.
Dalam hal pembangunan perumahan, Koster menekankan pentingnya kebijakan selektif. Izin akan diberikan dengan sangat hati-hati, terutama jika lahan tersebut merupakan milik warga setempat yang ingin membangun rumah mereka sendiri.
Faktor Penyebab Banjir Terhadap Keberlanjutan Pulau Bali
Permasalahan alih fungsi lahan berhubungan erat dengan bencana yang terjadi di Bali, di mana Menteri Lingkungan Hidup juga ikut memberikan pernyataan mengenai kondisi tutupan hutan di daerah tersebut. Data menunjukkan bahwa kawasan pegunungan Bali, khususnya di sekitar Gunung Batur, memiliki tutupan hutan yang sangat minim, bahkan kurang dari 4 persen dari total luas kawasan.
Menurut Hanif Faisol Nurrofiq, hanya sekitar 1.200 hektare dari 49 ribu hektare daerah aliran sungai yang memiliki tutupan hutan. Angka ini tentunya sangat rendah dan menjadi salah satu faktor utama penyebab banjir. Penggundulan hutan menyebabkan penyerapan air menjadi berkurang, sehingga saat hujan deras, aliran air tidak dapat ditampung dengan baik.
Hal ini menjadi semakin penting mengingat bencana banjir yang menghantam sejumlah daerah di Bali baru-baru ini. Melihat dari data yang ada, 17 jiwa dinyatakan meninggal akibat peristiwa tersebut, dengan jumlah korban terbanyak berasal dari Denpasar dan sekitarnya.
Langkah Tanggap Darurat dan Pemulihan Pasca Banjir
Pemerintah Provinsi Bali telah menetapkan keadaan tanggap darurat bencana selama satu minggu setelah kejadian banjir. Tindakan ini diambil untuk memberikan bantuan mendesak kepada para korban serta melakukan pemulihan infrastruktur yang rusak akibat bencana.
Upaya pemulihan juga mencakup pencarian pihak-pihak yang masih hilang dan memberikan dukungan psikologis bagi para korban yang trauma. Kegiatan ini dianggap sangat krusial untuk memastikan masyarakat bisa kembali menjalani kehidupan normal, terutama berkaitan dengan aspek ekonomi.
Pemerintah setempat juga berfokus pada upaya preventif di masa depan, agar bencana serupa tidak terulang. Di samping kebijakan mengenai penggunaan lahan, penanaman pohon dan reboisasi juga direncanakan untuk memperkuat tutupan hutan di pegunungan dan wilayah kritis lainnya.
Kebijakan secara komprehensif ini diharapkan dapat menjawab masalah mendasar yang menyebabkan banjir, sambil menjaga keberlanjutan lingkungan. Koster mengajak seluruh elemen masyarakat untuk turut serta menjaga ekosistem ini demi masa depan Bali yang lebih baik.
Dengan langkah-langkah ini, Gubernur Koster berharap semua warga Bali dapat hidup lebih aman di masa yang akan datang, bebas dari ancaman bencana yang merugikan. Ini adalah perjalanan panjang, tetapi semua pihak harus bersatu untuk mencapai tujuan bersama menciptakan Bali yang aman dan lestari.